Ketika membaca buku Tribal Leadership (2008) yang ditulis oleh Dave Logan, John King dan Halee Fischer – Wright, lima level budaya tim adalah hal yang menarik perhatian saya. Berdasarkan riset selama 10 tahun terhadap kurang lebih 24.000 responden di lebih dari 24 perusahaan, penulis mengelompokkan budaya perusahaan terbagi dalam lima level berikut:

Kelompok Level 1

Beranggotakan orang-orang yang menganggap dunia dan kehidupan ini menyebalkan. Orang-orang dalam kelompok ini cenderung bersikap seperti teroris dan mensabotase lingkungannya. Dalam konteks lingkungan perusahaan, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini biasa menjadi trouble maker, melakukan tindakan fraud dan merongrong perusahaan dari dalam. Bisa dikatakan mereka adalah oposisi abadi bagi setiap kebijakan perusahaan.

Secara statistik, jumlah orang yang masuk kategori ini tidaklah banyak, hanya 2% dari total populasi. Akan tetapi karena tindakan mereka yang cenderung merusak dan merugikan banyak orang, justru kelompok ini lebih sering menjadi “headline”. Orang-orang yang masuk dalam kelompok ini akan sangat dikenal. Bukan karena prestasinya tentu saja. Tapi karena selalu menjadi penghambat untuk orang lain.

Kelompok Level 2

Berbeda dengan Level 1 yang cenderung menyalahkan lingkungan, level 2 lebih cenderung menganggap dirinyalah yang tidak beruntung. Mereka selalu merasa menjadi korban dari keadaan. Karena itulah akhirnya mereka menjadi orang yang apatis. Kalimat yang sering muncul di benak orang-orang ini adalah “Apes banget sih nasibku”, “Kenapa aku selalu tidak beruntung?”, “Kenapa ya selalu saja dapat bos yang menyebalkan, dasar nasibku?”. Kelompok orang ini pada umumnya merasa diri tidak punya sumber daya, meskipun sebenarnya punya.

Dalam lingkungan kantor, apabila sebuah tim kerja dihuni kelompok orang-orang seperti ini, yang terjadi adalah inovasi akan terhenti, proses lambat dan pelayanan mengecewakan. Mereka enggan membantu orang lain karena merasa hidupnya sendiri sudah tidak tertolong. Berada di lingkungan seperti ini juga akan menciptakan orang-orang apatis berikutnya. Bukan karena mereka bodoh dan tidak mampu melakukan inovasi, tapi lebih karena dibodohkan oleh lingkungan.

Bisa jadi kebodohan mereka juga diakibatkan oleh pimpinan yang terlalu otoriter yang tidak memberikan ruang pada pemikiran mereka. Karena otoriternya pemimpin, mereka merasa ide-idenya tidak berguna hingga akhirnya menjadi apatis. Atau bisa jadi justru sebaliknya. Mereka menjadi seperti itu karena pimpinannya yang hanya nurut-nurut saja, terlalu lembek, lebih suka menjalani rutinitas dan status quo.

Kelompok Level 3

Ini adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang hebat secara individu. Namun, mereka enggan mengakui kehebatan orang lain dan masih ingin mendapatkan pengakuan atas kehebatan dirinya. Orang-orang seperti inilah yang akhirnya mendorong kencangnya hembusan angin politik di kantor. Tentu saja karena mereka masih haus sanjungan dan penghargaan individu.

Orang-orang yang ada di kelompok ini selalu ingin menonjolkan diri. Mereka memang punya kemampuan hebat. Tapi kehebatannya hanya untuk diri sendiri. Ketika harus bersosialisasi, bekerja dalam kelompok atau memimpin kelompok, orang lain atau timnya akan menjadi korban. Orang-orang yang ada di kelompok level 2 biasanya menjadi korban dari rekan kerja atau pimpinan yang seperti ini.

Kelompok Level 4

Mentransformasi orang-orang yang ada di kelompok level 3 untuk masuk ke dalam level 4 adalah tantangan yang cukup berat. Orang-orang yang ada di level 4 adalah mereka yang punya keunggulan dan kehebatan pribadi yang kemudian bisa bekerja sama dengan orang lain. Orang-orang yang ada di tahap ini adalah mereka yang menemukan partner yang cocok hingga menjadi sebuh tim kerja. Slogan utama dari kelompok ini adalah “kami tim yang hebat. tim lain tidak ada apa-apanya”. Karena itu mereka hanya mau dan mampu bekerja sama dengan orang-orang yang sudah klop dan lama dikenal. Kalau Anda melihat fenomena yang cukup marak belakangan ini, dimana banyak profesional yang ketika berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, mereka membawa ‘gerbong’ timnya, ini adalah contoh nyata dari kelompok level 4.

Kinerja kelompok ini memang umumnya bagus, karena mereka terdiri dari orang-orang yang punya kemampuan di atas rata-rata. Namun, ketika pindah dari satu entitas ke entitas lainnya, ada satu hal yang dilupakan yaitu budaya setiap organisasi berbeda-beda. Seringkali sinergi dalam sebuah organisasi terhambat karena hal ini.

Begitu ‘gerbong’ sebuah tim pindah ke satu organisasi, justru kekacauan yang terjadi. Tim baru membawa budaya berbeda yang menurut mereka paling benar, sementara tim lama juga punya pemikiran yang sama. Kekacauan semakin ruwet karena di organisasi itu tidak hanya terdapat pertentangan antara tim lama dan tim baru, tapi juga pertentangan dengan banyak jenis kelompok level 4 di dalamnya. Apalagi jika masing-masing divisi adalah representasi dari kelompok level 4 yang berasal dari entitas yang berbeda-beda. Hasilnya ‘chaos’.

Fenomena seperti ini banyak saya temui pada perusahaan-perusahaan yang sedang melakukan transformasi, merger atau akuisisi. Karena chaos, yang banyak menjadi korban ternyata adalah karyawan menengah ke bawah yang merasa tidak punya kendali. Akibatnya mereka terdemotivasi, mengundurkan diri dan tingkat turnover karyawan meningkat.

Beberapa ciri perusahaan yang dikuasai oleh Kelompok Level 4 adalah:

  • Mandeknya kreatifitas, kemampuan dan karir sumberdaya manusia yang tidak masuk dalam lingkaran tim penguasa.
  • Maju pesatnya karir SDM yang masuk dalam lingkaran tim penguasa. Kadang-kadang kemajuannya tidak wajar dan terlalu meroket tanpa diimbangi dengan peningkatan kemampuan.
  • Tingginya kinerja secara angka tanpa diimbangi dengan level of engagement karyawan.
  • Tim kerja yang terkotak-kotak (silo) dan kurang bersinergi satu sama lain.

Meskipun secara kinerja baik, jika tidak segera ditangani dan ditransformasi menjadi kelompok level 5, budaya yang terbentuk akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan justru menjadi bumerang untuk perusahaan. Di beberapa perusahaan, saya melihat fenomena ini. Rendahnya sinergi melahirkan kelompok-kelompok kecil yang akhirnya menjadi Kelompok Level 1 yang merongrong perusahaan dari dalam.

Kelompok Level 5

Orang-orang yang berada di Level 5, adalah kelompok “Orang Luar Biasa” yang menganggap hidup ini luar biasa. Oleh karena itu mereka mengerjakan dan menghasilkan hal-hal yang luar biasa pula. Orang-orang ini selalu enjoy, penuh keyakinan dan tanpa beban. Dengan mentalitas dan karakter seperti ini, ditempatkan dimanapun mereka akan mampu membentuk tim yang bersinergi. Mereka tidak terpaku pada kekuatan kelompok lamanya yang sudah dipercaya. Diberikan berbagai macam tipe orang dengan berbagai macam karakteristikpun, dia akan mampu membentuk sinergi.

Bagi orang-orang yang ada di level ini, penghargaan dan sanjungan pribadi bukanlah prioritas. Fokus utama mereka adalah menjalankan misi kehidupannya untuk terus berkontribusi. Mereka merasa hidupnya sudah berkelimpahan. Oleh karena itu yang dilakukan adalah selalu berbagi dan mengembangkan orang lain. Berkelimpahan adalah mentalitas, bukan dari banyaknya sumber daya yang dimiliki. Karena merasa hidupnya berkelimpahan, maka dia tak segan untuk membagikan apa yang dimilikinya untuk orang lain. Mereka tidak segan untuk berbagi pengetahuan, pengalaman dan keterampilan untuk mengembangkan orang lain.